Minggu, 20 November 2016

EPISTEMOLOGI ISLAM

PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI ISLAM
A.    PENGERTIAN EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan, yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu   episteme, yang berarti pengetahuan[[1]] dan logos (kata/pembicaraaan atau ilmu). Adapun pengertian Islam itu sendiri secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata salima yang berarti selamat sentosa,  Secara istilah (terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. jadi epistemologi islam adalah pengetahuan islam berdasarkan pemikiran, akal manusia.
Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari [[2]].      
Epistemologi itu disebut teori pengetahuan (theory of  knowledge)  , di mana dalam bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge Dictionary of Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang pengetahuan dan kebenaran , paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga bagian penting:
1.       penegasan ciri-ciri pengetahuan
2.       kondisi  sumber-sumber pengetahuan yang sesungguhnya.
3.       batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.
Apa yang dapat kita ketahui ?dan bagaimana kita dapat mengetahui itu ? adalah pertanyaan-pertanyaan filosofis dan  bentuk-bentuk pengetahuan  menjadi topik utama epistemologi, secara bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran lain seperti kepercayaan (belief), pemahaman (understanding), akal Budi (reason), keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau tanggapan daya memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition), dugaan (guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada dua aliran  yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat pengetahuan ini sendiri   Realisme menyatakan hakikat pengetahuan adalah apa yang ada dalam gambar. Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan kenyataan. Sedangkan idealisme menganggap pengetahuan itu adalah gambar menurut pendapat atau  penglihatan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Metode-metode untuk memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.



A.    Epistemologi Bayani
1.      Pengertian bayani,
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan visi dari metode bayani.[[3]]
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahiami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Meski menggunakan metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi  bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah ..
          Metode Qiyas, Untuk memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya adalah :
          1) Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab:2)Menggunakanmetode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama epistemologi bayani.
a.      Pendukung Keilmuan Bayani
      Corak epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam, ahli fiqih dan ahli bahasa.Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan membentuk corak pemikiran keislaman yang hegemonik.
b.      Validitas Keilmuan Bayani
      Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah), dan intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.Pola pikir bayani lebih mendahulukanqiyas (qiyas al-illah untuk fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual.
B.     Epistemologi burhani
1)      Pengertian,
            Dalam bahasa Arab, al-burhan berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear) dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration, yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan)
            Dalam perspektif logika (al-mantiq), burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Jika dibandingkan dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar dan bertujuan untuk membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani  lebih bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di dalam mencapai pengetahuan.
Dalam memandang proses keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara  filsafat di mana hakikat sebenarnya adalah  universal. Hal ini akan menempatkan ‘makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa” yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal  ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ datang lebih dahulu dari pada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri maka yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi kata-kata yang baru.    
Jadi setiap ilmu burhani berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain, kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai sibol pernyataan makna.
Mengikuti Aristoteles, Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani.
Silogisme yang burhani (silogisme demonstrative atau qiyah burhani)
selalu bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat disebut sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.

Aplikasi dari bentukan silogisme ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian (ma’qulat), tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Dalam perspektif tiga teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola piker burhani tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi.

STRUKTUR FUNDAMENTAL
EPISTEMOLOGI BURHANI
1.        Origin (sumber)
 Nash/ Teks/ Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-Tauqifi
2.        Methode (proses dan prosedur)
 Ijtihadiyyah Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib ‘ala al-syahid)
3.        Approach
 Lughawiyyah (bahasa), Dalalah Lughawiyyah
5.        Fungsi dan Peran Akal
 Akal sebagai pengekang / pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur), Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql al-Diniy
6.        Type of Argument
 Dialektik (Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif – Apologetik – Polemik – Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika Aristoteles)
7.        Tolok Ukur Validitas Keilmuan
 Keserupaan/ kedekatan antara teks (nash) dengan realitas
8.        Prinsip-Prinsip Dasar
 Infishal (discontinue) = Atomistik
Tajwiz (keserbabolehan) = tidak ada hokum kausalitas, Muqarabah (kedekatan, keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
9.        Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
 Kalam (Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/ Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar); Balaghah



Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang paling berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles.
Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting dalam logika Aristoteles adalah silogisme.
Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi burhani adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi (istiqrd), konsep universalisme (al-kulli). universalitas-universalitas induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-maqashid).
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi burhani didasarkan pada makna.
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul dibanding dua epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan, bahwa ia tidak bisa sampai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan prinsip-prinsip segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Secara etimologis, kata Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[[4]]
Irfan dari kata dasar bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql).Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis
             Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan.
a)      kelompok yang menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami.
b)      kelompok yang beranggapan bahwa irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya, (1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
c)      kelompok yang beranggapan bahwa irfan ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz. Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat.Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam.Konsep dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.
d)     kelompok yang menganggap irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya Neo-Platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson.Alasannya, ‘Theologi Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah dikenal baik dalam filsafat Islam.Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains Hellenistik.Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafzi dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri.
            Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
            Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
            Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, disebut ilham.
c. Pengungkapan
           Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.
             Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat Islam yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf: ma'rifat. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan di luar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam yang disebut gnosis, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu cenderung  pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang. Pendekatan irfani secara epistemologis, menjadikan pengalaman ruhani bisa dijelaskan secara rasional dan masuk akal.

Tiga epistemologi Islam ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda.Pengetahuan bayani didasarkan atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio.Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan
Perbandingan Epistemologi Bayani. Irfani. dan Burhani
Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/ Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Talilili (analitik). Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psikho-Gnostik
Loaika
■i-
Tema Sentral
Ashl-Furu* Kata – Makna
Zahir - Batin Wilayah – Nubuwah
Essensi - Aksistensi Bahasa – Loaika
Validitas
Kebenaran
Korespondensi
Intersubjektif
Koherensi Konsistensi
Pendukung
Kaum Teolos.
ahli Fiqli.
ahli Bahasa
Kaum Sufi
Para Filosof






Daftar pustaka
M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243[1]
Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.
Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000),    
             hlm. 60
Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34




[1]  M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.

[3] Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 60
[4] Noorsyam, filsafat Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya : 1984), hal 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar