PEMBAHASAN
Amtsal Al-Qur’an
A.
Definisi Amtsal
Al-Qur’an
Menurut Supiana dan Karman
(2002: 253), kata Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal.
Adalah kata matsal, mitsl dan matsil serupa
dengan syabah, syibh, dan syabih, baik lafazh
maupun maknanya. Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan
sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi tujuan yang sama, yaitu pengisah
menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Contohnya, “rubba ramiyah min
ghairi ramin”, maksudnya berapa banyak musibah diakibatkan oleh
kesalahan pemanah. Orang yang pertama mengatakan seperti ini adalah Hakam bin
Yaghust Al-Naqri, membuat perumpamaan orang yang salah dengan musibah walaupun
kadang-kadang benar.
Amtsal juga digunakan untuk mengungkapkan suatu keadaan dan kisah yang
menakjubkan. Dengan makna inilah lafazh Amtsal ditafsirkan
dalam banyak ayat. Seperti,
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا
أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ ءَاسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ
طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ
مُصَفًّى وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ
كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَس ُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
“perumpamaan surga yang
telah dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa ialah: ada padanya beberapa
sungai dari air yang tidak berubah (rasa dan baunya), dan beberapa sungai dari
susu yang tidak berubah rasanya, serta beberapa sungai dari arak yang lezat
bagi orang-orang yang meminumnya, dan juga beberapa sungai dari madu yang suci
bersih. Dan ada pula untuk mereka di sana segala jenis buah-buahan, serta
keredaan dari Tuhan mereka...” (QS. Muhammad:
15).
Ada juga yang berpendapat, Amtsal adalah
makna yang paling jelas dalam menggambarkan suatu realita yang dihasilkan oleh
adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal seperti ini tidak disyaratkan harus
adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim (dalam Manna Kholil, 1992 : 400), dalam
masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang
rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain
karena adanya kemiripan. Al-Qur’an secara terminologi menurut Drs. Anwar
Rosihin, M.Ag beliau berkata bahwasannya ilmu amtsal Al-Qur’an adalah ilmu yang
menerangkan perumpamaan Al-Qur’an, yakni menerangkan ayat-ayat perumpamaan yang
dikemukakan Al-Qur’an (2008: 28).
Menurut Syahidin (2009
: 78), di dalam Al-Qur’an ditemukan 165 tempat yang memakai kata amtsal
(permisalan / perumpamaan) sebagai adat tasybih (alat untuk mengumpamakan) dan
masih banyak adat tasybih lain yang menunjukan perumpamaan.
Ash-shidieqy (1972:
174) didalam Al-Qur’an sendiri, kata amtsal dipergunakan dalam beberapa
pengertian, sebagai berikut.
a. matsal diartikan dengan
“perkataan atau informasi mengenai dirinya sendiri”
b. matsal berarti “contoh
atau tauladan”
c. matsal berarti
“penerangan”
d. matsal berarti “tanda
atau bukti”
e. matsal berarti
“keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian serta menakjubkan”, dan
f. matsal berarti
“perbandingan”
Lebih lanjut ia
mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa
penggunaan tasybih sharih, seperti:
“sesungguhnya perumpamaan kehidupan
duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit.” (QS. Yunus: 24).
Sebagian lagi berupa
penggunaan tasybih dhimmi (penyerupaan secara tidak langsung),
mislanya:
“...Dan janganlah
sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain sukakah salah seorang dari
kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya.”(QS. Al-Hujurat: 12).
Dikatakan dhimmi karena
dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sharih. Dan ada pula yang
tidak mengandung tasybih maupun isti’arah, seperti
firman-Nya:
“Wahai manusia, telah
dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu.
Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat
menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan
jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya
kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah)
yang disembah.” (QS. Al-Hajj:
73).
Firman-Nya, “Sesungguhnya
segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor
lalat pun” oleh Allah disebut dengan Amtsal padahal didalamnya tidak
terdapat isti’arah maupun tasybih.
Berkaitan dengan amtsal
dalam Al-Qur’an kuntowijoyo, memandang bahwa “pada dasarnya kandungan Al-Qur’an
terbagi menjadi dua bagian”(1991: 327-329). Bagian pertama berisi konsep-konsep
dan bagian kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amtsal. Bagian pertama
dimaksudkan untuk membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai
nilai-nilai sejarah islam, sedangkan bagian kedua dimaksudkan sebagai ajakan
perenungan untuk memperoleh hikmah. Kisah kesabaran Nabi Ayyub misalnya
menggambarkan tipe sempurna tentang betapa gigihnya kesabaran orang yang
beriman ketika menghadapi cobaan apapun. Kisah kezaliman Fir’aun menggambarkan
mengenai kejahatan tirani pada masa paling awal yang pernah dikenal manusia.
Adapun kisah Tsamud yang membunuh unta milik Nabi Saleh lebih menggambarkan
mengenai penghianatan masal oleh konspirasi-konspirasi kafir.
B. Jenis Amtsal dalam
Al-Qur’an
Amtsal di dalam
Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan
amtsal mursalah.
1) Amtsal musharrahah, maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang
menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal ini seperti banyak ditemukan dalam
Al-Qur’an, dan berikut ini beberapa diantaranya:
a. Tentang orang munafik
“perumpamaan (matsal)
mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi
sekelilingnya, Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka dan
membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan
buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang
yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan
kilat...sampai dengan- Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 17-20).
Di dalam ayat-ayat ini
Allah membuat dua perumpamaan (matsal) bagi orang munafik; matsal yang
berkenaan dengan api (nar) dalam firman-Nya, “adalah seperti orang yang
menyalakan api..,” karena di dalam api terdapat unsur cahaya. Matsal yang lain
adalah berkenaan dengan air (ma’i), “atau seperti (orang yang
ditimpa) hujan lebat dari langit...,” karena di dalam air terdapat materi
kehidupan. Dan wahyu yang turun dari langit pun bermaksud untuk menerangi hati
dan menghidupkannya. Allah juga menyebutkan kondisi orang munafik dalam dua
keadaan. Di satu sisi mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk
penerangan dan kemanfaatan. Dalam hal ini mereka memperoleh kemanfaatan materi
dengan sebab masuk islam. Namun keislaman mereka tidak memberikan pengaruh
terhadap hati mereka karena Allah menghilangkan cahaya (nur) yang ada dalam api
itu,”Allah menghilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.” Kemudian membiarkan
unsur api “membakar” yang ada padanya. Inilah perumpamaan mereka yang berkenaan
dengan api.
Adapun dalam matsal air
(ma’i), Allah menyerupakan mereka dengan keadaan orang ditimpa hujan lebat yang
disertai gelap gulita, guruh, dan kilat, kekuatannya terkuras habis. Lalu ia
menyumbat telinga dengan jari jemarinya, sambil memejamkan mata karena takut
petir menimpanya. Gambaran ini laksana Al-Qur’an dengan segala peringatan,
perintah, larangan dan khithabnya bagi mereka seperti petir yang turun
menyambar.
b. Allah juga menyebutkan
dua macam matsal air (ma’i) dan api (nar), dalam surat ar-Ra’d, untuk
menggambarkan yang hak dan yang batil,
“Allah telah menurunkan
air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air
dilembah-lembah menurut
ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam)
yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula)
buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi)
yang benar dan yang batil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang
tidak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap
di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d: 17).
Wahyu yang diturunkan
Allah dari langit untik menghidupkan hati diserupakan dengan air hujan yang
diturunkannya untuk menghidupkan bumi dan tumbuh-tumbuhan. Hati diserupakan
dengan lembah. Arus air yang mengalir dilembah akan menghanyutkan buih dan sampah.
Begitu pula hidayah dan ilmu bila mengalir di hati akan berpengaruh terhadapa
nafsu syahwat, dengan menghilangkannya. Inilah matsal ma’i dalam firman-Nya,
“Dia telah menurunkan air (hujan) dari langit...” Demikianlah Allah membuat
matsal bagi yang hak dan yang batil.
Mengenai matsal nari,
dikemukakan dalam firman-Nya: Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam
api....” Logam, bail emas, perak, tembaga, maupun besi, ketika dituangkan
kedalam api, maka api akan menghilangkan kotoran dan karat yang melekat
padanya, memisahkannya dari substansi yang dapat dimanfaatkan, sehingga karat
itu hilang dengan sia-sia. Begitu pula, syahwat akan dilemparkan dan dibuang
dengan sia-sia oleh hati orang mukmin sebagaimana arus air menghanyutkan sampah
atau api melemparkan karat logam.
2) Amtsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi
ia menunjukan makna-makna yang indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat,
dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa
dengannya. Contohnya:
(a) Ayat-ayat yang senada dengan suatu ungkapan “sebaik-baik perkara
adalah yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang.” Yaitu:
a. Fi rman Allah tentang
sapi betina: “Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan di
antara itu.....” (QS. Al-Baqarah: 68).
b. Firman-Nya tentang
nafkah: “Dan mereka yang apabila membelanjakan (hartanya), mereka tidak
berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu seimbang).”
(QS. Al-Furqon:67).
c. Firman-Nya mengenai
shalat: “Dan janganlah kamu mnegeraskan suaramu dalam salammu dan jangan
pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS.
Al-Isra’:110).
d. Firman-Nya mengenai
infaq: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan
jangan (pula) terlalu mengulurkannya.”(QS. Al-Isra’:29).
(b) Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang yang mendengar itu tidak sama
dengan yang menyaksikannya sendiri.” Misalnya firman Allah tentang Ibrahim:
Allah berfirman, “apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “saya
telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” (QS.
Al-Baqarah: 260).
(c) Ayat yang senada dengan ungkapan, “seperti yang kamu telah lakukan, maka
seperti itu kamu akan di balas.” Misalnya, “Barang siapa mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS.
An-Nisa’: 123).
(d) Ayat yang senada dengan ungkapan, “orang mukmin tidak akan masuk dua kali
lubang yang sama.” Misalnya firman melalui lisan Ya’kub: “Bagaimana aku
mempercayakannya (bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan
saudaranya (Yusuf) kepadamu dahulu.” (QS. Yunus: 12:64).
3) Amtsal mursalah, yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih secara
jelas. Tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal, seperti:
1. “Sekarang ini
jelaslah kebenaran itu.” (QS. Yusuf :51).
2. “tidak ada yang akan
bisa menyatakan terjadinya hari itu selain dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
3. “Telah diputuskan
perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku).” (QS. Yusuf: 41).
4. “Bukankah subuh itu
sudah dekat?” (QS. Hud: 81).
5. “Tiap-tiap khabar
berita mempunyai masa yang menentukannya (yang membuktikan benarnya atau
dustanya), dan kamu akan mengetahuinya.” (QS. Al-An’am: 67).
6. “Dan rencana yang
jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencankannya sendiri.”
(QS. Fathir: 43).
7. “Katakanlah:
‘Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.’” (QS.
Al-Isra’:84).
8. “Boleh jadi kamu
membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah:
216).
9. “Tiap-tiap diri
bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”(QS. Al-Mudastsir: 38).
10. “Adakah balasan kebaikan selain dari kebaikan (pula)?” (QS. Ar-Rahman: 60).
11. “Amatlah lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (QS. Al-Mukminun: 53).
12. “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (QS. Ash-Shaffat: 61).
13. “Tidak sama yang buruk dengan yaang baik.” (QS. Al-Maidah: 100).
14. “Betapa yang terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang
banyak dengan idzin Allah.” (QS. Al-Baqarah:
246).
15. “Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah.” (QS. Al-Hasyr: 14).
Para ulama berbeda
pendapat tentang ayat-ayat yang mereka namakan Amtsal mursalah ini, apa atau
bagaimana hukum mempergunakannya sebagai matsal?
Sebagaimana ahli ilmu
memandang bahwa hal seperti keluar dari adab Al-Qur’an. Ar-Razi mengatakan kita
menafsirkan ayat,
“Untukmulah agamamu,
dan untukku lah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
“Sudah menjadi tradisi
orang, menjadikan ayat ini sebagai matsal ketika mereka saling meninggalkan
satu sama lain (karena berselisih), padahal ini tidak dibenarkan. Sebab Allah
menurunkan Al-Qur’an bukan untuk dijadikan matsal, tetapi untuk direnungkan dan
kemudian diamalkan isi kandungannya.” Demikian Ar-Razi.
Ulama lain berpendapat,
bahwa tak ada halangan bila seseorang mempergunakan Al-Qur’an sebagai matsal,
jika itu serius, tidak untuk main-main. Misalnya, ia sangat merasa besrsedih
dan berduka karena tertimpa bencana, sedangkan sebab-sebab tersingkapnya
bencana itu telah terputus dari manusia, lalu ia mengatakan,
“Tidak ada yang
menyingkapnya selain dari Allah.” (QS. An-Najm: 58).
Atau ia diajak bicara
oleh penganut ajaran sesat yang berusaha membujuknya agar mengikuti itu, maka
ia menjawab,
“Untukmulah agamamu
dan untukkulah agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6).
Tetapi berdosa besarlah
seseorang yang dengan sengaja menampakkan kehebatannya lalu ia menggunakan
Al-Qur’an sebagai matsal, meskipun saat bercanda dan bersenda gurau.
C. Faidah-Faidah Amtsal
Baidan (2005: 259),
Amtsal memberikan konstribusi yang cukup besar dalam daya pikir bagi umat islam
dalam memahami pemahaman terhadap Al-Qur’an. Manna’ Al-Qaththan mengemukakan
dalam kitabnya Mahabits fi ulumil Qur’an sebagai berikut.
a. Menampilkan sesuatu
yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia,
sehingga akal mudah menerimanya.
b. Mengungkapkan
hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
c. Menghimpun makna yang
menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat, seperti Amtsal kaminah dan
Amtsak mursalah dalam ayat-ayat diatas.
d. Mendorong orang yang
diberi Matsal untuk berbuat sesuai dengan isi Matsal, jika ia merupakan sesuatu
yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat Matsal bagi keadaan orang yang
menafkahkan harta di jalan Allah, dimana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan
yang banyak.
e. Menjauhkan dan
menghindarkan, jika isi matsal berupa sesuatu yang di benci jiwa. Misalnya
tentang larangan menggunjing.
f. Untuk memuji orang
diberi matsal.
g. Untuk menggambarkan
sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak. Misalnya
matsal tentang keadaan orang yang dikaruniai kitabullah tetapi ia tersesat
jalan hingga tidak mengamal-kannya.
h. Amtsal lebih berbekas
dalam jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam
memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebutkan
Amtsal dalam Al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.
i. Menurut Anwar
menyatakan bahwa pesan yang disampaikan melalui amtsal lebih mengenai hati,
lebih mantap dalam menyampaikan nasihat atau larangan serta lebih kuat
pengaruhnya (2001: 109).
D. Tujuan Amtsal Al-Qur’an
Para ulama’ ahli
tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal Al-Qur’an.
Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-Qur’an
maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar
manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik
dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin
dihindari. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat
Az-Zumar ayat 27. Mengenai kedudukan amtsal dalam Al-Qur’an,
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits riwayat Abu Hurairah:
إنَّ الْقُرْأَنَ نَزَلَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ حَلَالٍ وَ حَرَامٍ وَ
مُحْكَمٍ وَ مُتَشَابِهٍ وَ أَمْثَالٍ فَاعْلَمُوْا بِالْحَلَالِ وَاجْتَنِبُوْا
الْحَرَامَ وَاتَّبِعُوْا الْمُحْكَمَ وَأَمِنُوْا بِالْمُتَشَابِهِ
وَاعْتَبِرُوْا بِالْأَمْثَالِ
(Sesungguhnya al-Qur’an
turun dengan menggunakan lima sisi: halal, haram, muhkam, mutasyabih dan
amtsal. Kerjakanlah kehalalannya; tinggalkanlah keharamannya; ikutilah
muhkamnya; imanilah mutasyabihnya; dan ambillah pelajaran dari amtsalnya).
Dari dalil al-Qur’an
dan hadits di atas maka jelaslah bahwa tujuan amtsal al-Qur’an adalah
sebagai teladan dan bahan renungan sehingga manusia terbimbing menuju jalan
yang benar demi meraih kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat. Menurut izzan
(2007: 240) ada beberapa ciri-ciri Amtsal khusus dan terperinci yaitu.
a. mengandung
penjelasan atas makna yang samar atau abstrak sehingga menjadi jelas, konkret
dan berkesan.
b. amtsal
memiliki kesejajaran antara situasi perumpamaan yang dimaksud dan padanya.
c. adanya
keseimbangan (tawazun) antara perumpamaan dan keadaan yang dianalogikan.
PENUTUP
A. Simpulan
Amtsal dalam sastra adalah penyerupaan sesuatu keadaan dengan keadaan lain, demi
tujuan yang sama, yaitu pengisah menyerupakan sesuatu dengan aslinya. Ada juga
yang berpendapat, Amtsal adalah makna yang paling jelas dalam menggambarkan
suatu realita yang dihasilkan oleh adanya daya tarik dan keindahan. Amtsal
seperti ini tidak disyaratkan harus adanya sumber atau metafor. Ibnu Qayyim
dalam masalah Amtsal dalam Al-Qur’an menjelaskan bahwa Amtsal adalah
menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum, mendekatkan yang
rasional kepada yang indrawi, atau salah satu dari dua indra dengan yang lain
karena adanya kemiripan.
Amtsal di dalam
Al-Qur’an ada tiga macam: amtsal musharrahah, amtsal kaminah, dan
amtsal mursalah.
Amtsal musharrahah,
maksudnya sesuatu yang dijelaskan dengan lafazh matsal atau sesuatu yang
menunjukkan tasybih (penyerupaan). Amtsal kaminah, yaitu yang didalamnya tidak
disebutkan dengan jelas lafazh tamtsil, tetapi ia menunjukan makna-makna yang
indah, menarik, dalam redaksinya singkat padat, dan mempunyai pengaruh
tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Amtsal mursalah,
yaitu kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafazh tasybih secara jelas.
Faedah-faedah
Amtsal: Menampilkan sesuatu yang ma’qul (rasional) dalam bentuk konkrit yang
dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya. Mengungkapkan
hakikat-hakikat sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak.
Menghimpun makna yang menarik dan indah dalam satu ungkapan yang padat.Para
ulama’ ahli tafrsir tidak secara jelas menyebutkan tujuan dari amtsal Al-Qur’an.
Namun apabila dicermati dari berbagai faedah dan ayat-ayat amtsal Al-Qur’an
maka dapat dikatakan bahwa tujuan dari amtsal adalah agar
manusia menjadikannya pelajaran dan bahan renungan dalam arti contoh yang baik
dijadikan sebagai teladan sedangkan perumpamaan yang jelek sedapat mungkin
dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Al-Qaththan.
2005. pengantar studi Al-Qur’an. Jakarta: Pusta ka Kautsar.
Nasrudin Baidan, Wawasan
ilmu baru tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005,
(Cetakan ke 1, hlm. 259).
Anwar, Rosihin.
2008. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Setia.
Hasby Ash-Shidieqy.
1972. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Syahidin. 2009. Menelusuri
metode dalam Al-Qur’an. Bandung: CV.Alfabeta.
Kuntowijoyo.
1991. Paradigma islam : interpretasi untuk aksi.
Bandung: Mizan.
Supiana dan Karman.
2002. Ulumul Quran. Bandung: Pustaka Isalamika.
Shihab, Quraish.
2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Izzan, Ahmad. 2007.
Ulumul Qur’an. Bandung: Tafakur.
Anwar, Rosihin. 2001.
Samudera Al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar