PEMBAHASAN
EPISTEMOLOGI
ISLAM
A.
PENGERTIAN EPISTEMOLOGI ISLAM
Epistemologi
adalah cabang dari ilmu filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu
pengetahuan, yang berkaitan dengan
asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa yunani yaitu episteme, yang berarti pengetahuan[[1]]
dan logos (kata/pembicaraaan atau ilmu). Adapun pengertian Islam itu sendiri
secara bahasa (etimologi), berasal dari bahasa Arab, dari kata salima yang
berarti selamat sentosa, Secara istilah
(terminologi), Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia
melalui seorang Rasul atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya
diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW. jadi epistemologi
islam adalah pengetahuan islam berdasarkan pemikiran, akal manusia.
Epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain
itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan
ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari [[2]].
Epistemologi itu
disebut teori pengetahuan (theory of knowledge) , di mana dalam
bahasa Arab disebut Nazhriyah al-Ma’rifah. Robert Audi dalam The Cambridge
Dictionary of Philosophy menyatakan epistemologi sebagai studi tentang
pengetahuan dan kebenaran , paling tidak secara khusus mempelajari tentang tiga
bagian penting:
1. penegasan ciri-ciri pengetahuan
2. kondisi sumber-sumber pengetahuan yang
sesungguhnya.
3. batasan-batasan pengetahuan dan kebenaran.
Apa yang dapat kita
ketahui ?dan bagaimana kita dapat mengetahui itu ? adalah pertanyaan-pertanyaan
filosofis dan bentuk-bentuk pengetahuan menjadi topik utama
epistemologi, secara bersamaan dihubungkan kepada gagasan kesadaran lain
seperti kepercayaan (belief), pemahaman (understanding), akal Budi (reason),
keputusan (judgement), perasaan (sensation), penglihatan atau tanggapan daya
memahami/menanggapi sesuatu (perception), intuisi/gerak hati (intuition),
dugaan (guessing) dan pengetahuan/pelajaran (learning).
Epistemologi membahas
tentang hakikat pengetahuan dan dalam hal ini terbagi kepada dua aliran
yakni, realisme dan idealisme. Namun ada beberapa penjelasan tentang hakikat
pengetahuan ini sendiri Realisme menyatakan hakikat pengetahuan
adalah apa yang ada dalam gambar. Pengetahuan menurut teori ini sesuai dengan
kenyataan. Sedangkan idealisme menganggap pengetahuan itu adalah gambar
menurut pendapat atau penglihatan.
Epistemologi atau Teori Pengetahuan
yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian,
dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan
yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia
melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode
induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode
dialektis.
Metode-metode untuk
memperoleh pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara/metode dalam filsafat yang mendasarkan cara
memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber pengetahuan terletak pada akal.
Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman
paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel Kant. Kant membuat uraian tentang
pengalaman. Barang sesuatu sebagaimana terdapat dalam dirinya sendiri merangsang
alat inderawi kita dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman
dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara
langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan
pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari
pengetahuan intuitif
e. Dialektis
Yaitu tahap logika yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode penuturan
serta analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung
dalam pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk
melekukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran
yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam
percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
A. Epistemologi Bayani
1. Pengertian bayani,
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisan al Arab mengartikan sebagai
al fashl wa infishal (memisahkan dan terpisah) dalam kaitannya dengan
metodologi dan al dhuhur wa al idhar (jelas dan penjelasan) berkaitan dengan
visi dari metode bayani.[[3]]
Sementara itu, secara terminology bayan mempunyai dua arti (1) sebagai aturan
penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Berbeda dengan
makna etimologi yang telah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini
baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Bayani adalah
metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya memahiami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio
bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks.
Meski menggunakan
metode rasional filsafat seperti digagas Syathibi, epistemologi bayani tetap berpijak pada teks (nash). Dalam ushûl al-fiqh, yang
dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur`an dan As-Sunnah ..
Metode Qiyas, Untuk
memperoleh pengetahuan, epistemologi bayani menempuh dua jalan, diantaranya
adalah :
1) Berpegang pada redaksi (lafazh) teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab:2)Menggunakanmetode qiyas (analogi) dan inilah prinsip utama
epistemologi bayani.
a. Pendukung Keilmuan
Bayani
Corak
epistemologi bayani didukung oleh pola pikir kaum teolog/ahli kalam, ahli fiqih
dan ahli bahasa.Pola pikir tekstual bayani lebih dominan secara politis dan
membentuk corak pemikiran keislaman yang hegemonik.
b. Validitas Keilmuan
Bayani
Validitas keilmuan bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks
atau nash dan realitas. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam
kaidah-kaidah metodologi ushul fiqih klasik lebih diunggulkan daripada sumber
otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyah), akal (aqliyah), dan
intuisi (wijdaniyah). Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah
menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhada
isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.Pola
pikir bayani lebih mendahulukanqiyas (qiyas al-illah untuk fiqih, dan qiyas dalalah untuk kalam. Di samping itu, nalar
epistemologi bayani selalu mencurigai akal
pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual.
B.
Epistemologi burhani
1)
Pengertian,
Dalam bahasa Arab, al-burhan
berarti argument (al-hujjah) yang jelas (al-bayyinah; clear)
dan distinc (al-fashl), yang dalam bahasa inggris adalah demonstration,
yang mempunyai akar bahasa Latin: demonstration (berarti member
isyarat, sifat, keterangan, dan penjelasan)
Dalam perspektif logika (al-mantiq),
burhani adalah aktivitas berpikir untuk menetapkan kebenaran suatu premis
melalui metode penyimpulan (al-istintaj), dengan menghubungkan premis
tersebut dengan premis yang lain yang oleh nalar dibenarkan atau telah terbukti
kebenarannya (badlihiyyah). Sedang dalam pengertian umum, burhani adalah
aktivitas nalar yang menetapkan kebenaran suatu premis.
Jika dibandingkan
dengan kedua epistemology yang lain; bayani dan irfani, dimana
bayani menjadikan teks (nash), ijma’, dan ijtihad sebagai otoritas dasar
dan bertujuan untuk membangun konsepsi tentang alam untuk memperkuat akidah
agama, yang dalam hal ini Islam. Sedang irfani menjadikan al-kasyf
sebagai satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus
bertujuan mencapai maqam bersatu dengan Tuhan. Maka burhani lebih
bersandar pada kekuatan natural manusia berupa indra, pengalaman, dan akal di
dalam mencapai pengetahuan.
Dalam memandang proses
keilmuan, kaum Burhaniyun bertolak dari cara
filsafat di mana hakikat sebenarnya adalah universal. Hal ini akan
menempatkan ‘makna” dari realitas pada posisi otoritatif, sedangkan ”bahasa”
yang bersifat particular hanya sebagai penegasan atau ekspresinya. Hal
ini nampak sejalan dengan penjelasan al-Farabi bahwa “makna/’ datang lebih
dahulu dari pada “kata”, sebab makna datang dari sebuah pengkopsesian
intelektual yang berada dalam tataran pemikiran atau rasio yang
diaktualisasikan dalam kata-kata. Al-Farabi memberikan pengandaian bahwa
seandainya konsepsi intelektual itu letaknya dalam kata-kata itu sendiri maka
yang lahir selanjutnya bukanlah makna-makna dan pemikiran-pemikiran baru tetapi
kata-kata yang baru.
Jadi setiap ilmu burhani
berpola dari nalar burhani dan nalar burhan bermula dari proses
abstraksi yang bersifat akali terhadap realitas sehingga muncul makna, sedang
makna sendiri butuh aktualisasi sebagai upaya untuk bisa dipahami dan
dimengerti, sehingga di sinilah ditempatkan kata-kata; dengan redaksi lain,
kata-kata adalah sebagai alat komunikasi dan sarana berpikir di samping sebagai
sibol pernyataan makna.
Mengikuti Aristoteles,
Al-Jabiri dalam hal ini menegaskan bahwa setiap yang burhani pasti
silogisme, tetapi belum tentu yang silogisme itu burhani.
Silogisme yang burhani
(silogisme demonstrative atau qiyah burhani)
selalu bertujuan untuk
mendapatkan pengetahuan, bukan untuk tujuan tertentu seperti yang dilakukan
oleh kaum sufistaiyah (sophis).Silogisme (al-qiyas) dapat disebut
sebagai burhani, jika memenuhi tiga syarat: pertama, mengetahui
sebab yang Secara structural, proses yang dimaksud di atas terdiri dari tiga
hal, pertama proses eksperimentasi yakni pengamatan terhadap realitas; kedua
proses abstraksi, yakni terjadinya gambaran atas realitas tersebut dalam
pikiran; ketiga, ekspresi yaitu mengungkapkan realitas dalam kata-kata.
Aplikasi dari bentukan silogisme
ini haruslah melewati tiga tahapan yaitu tahap pengertian (ma’qulat),
tahap pernyataan (ibarat) dan tahap penalaran (tahlilat).
Dalam perspektif tiga
teori kebenaran, maka kebenaran yang dihasilkan oleh pola piker burhani
tampak ada kedekatannya dengan teori kebenaran koherensi atau konsistensi. Dalam
burhani menuntut penalaran yang sistematis, logis, saling berhubungan
dan konsisten antara premis-premisnya, juga secara benar koheren dengan
pengalaman yang ada, begitu pula tesis kebenaran konsistensi atau koherensi.
STRUKTUR FUNDAMENTAL
|
EPISTEMOLOGI BURHANI
|
1.
Origin (sumber)
|
Nash/ Teks/
Wahyu (Otoritas Teks) Al-Akhbar, al-Ijma’ (Otoritas Salaf) Al-’Ilm al-Tauqifi
|
2.
Methode (proses dan prosedur)
|
Ijtihadiyyah
Istinbathiyyah/ Istintajiyyah/ Istidlaliyyah/ qiyasQiyas (Qiyas al-ghahib
‘ala al-syahid)
|
3.
Approach
|
Lughawiyyah
(bahasa), Dalalah Lughawiyyah
|
5.
Fungsi dan Peran Akal
|
Akal sebagai
pengekang / pengatur hawa nafsu (lihat Lisan al-‘Arab Ibn Man-dzur),
Justifikasi-Repeetitif-Taqlidi (pengukuh kebenaran/ otoritas teks), Al-‘Aql
al-Diniy
|
6.
Type of Argument
|
Dialektik
(Jadaliyyah); al-‘Uqul al Mtanafisah
Defensif – Apologetik
– Polemik – Dogmatik Pengaruh pola Logika Stonic (bukan logika Aristoteles)
|
7.
Tolok Ukur Validitas Keilmuan
|
Keserupaan/
kedekatan antara teks (nash) dengan realitas
|
8.
Prinsip-Prinsip Dasar
|
Infishal
(discontinue) = Atomistik
Tajwiz
(keserbabolehan) = tidak ada hokum kausalitas, Muqarabah (kedekatan,
keserupaan), Analogi deduktif; Qiyas
|
9.
Kelompok Ilmu-ilmu Pendukung
|
Kalam
(Teologi), Fiqih (Jurisprudensi)/ Fuqaha; Ushuliyyun, Nahwu (Grammar);
Balaghah
|
Menurut sejarah munculnya metode pemikiran burhani. dasar logika yang
paling berpengaruh di dalamnya adalah logika Aristoteles. Istilah logika ini
sebenarnya muncul belakangan dan tidak pernah disebut oleh Aristoteles.
Aristoteles sendiri memperkenalkan metode berpikirnya ini sebagai metode
berpikir analitik. Logika Aristoteles sering disebut sebagai logika
tradisionalis, logika formal, atau logika deduktif. Salah satu ajaran penting
dalam logika Aristoteles adalah silogisme.
Dengan landasan logika Aristoteles, beberapa metode yang dipakai dalam epistemologi
burhani adalah metode deduksi (istintaj, qiyasjami), induksi (istiqrd),
konsep universalisme (al-kulli). universalitas-universalitas
induktif, prinsip kausalitas dan historitas. serta tujuan syariah (al-maqashid).
Perbedaan mendasar antara penalaran dengan epistemologi bayani dan burhani
adalah inferensi pada bayani didasarkan atas lafal, sedangkan pada epistemologi
burhani didasarkan pada makna.
Dalam perkembangan selanjutnya, metode burhani yang dianggap lebih unggul
dibanding dua epistemologi yang lain ternyata mengandung kekurangan, bahwa ia
tidak bisa sampai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai
oleh penalaran rasional, meski rasio telah mengklaim sesuai dengan
prinsip-prinsip segala sesuatu,bahkan silogisme rasional sendiri pada saat
tertentu tidak bisa mejelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.
Secara etimologis, kata
Irfani berasal dari bahsa arab adalah bentuk mashdar (infinitif)
dari kata ‘arafa yang
berarti tahu/mengetahui. Seakar pula dengan
kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).[[4]]
Irfan dari kata dasar
bahasa Arab semakna dengan makrifat, berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda
dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan dengan pengetahuan yang
diperoleh secara langsung lewat pengalaman (experience), sedang ilmu menunjuk
pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas
(aql).Karena itu, irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan
yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya setelah
adanya olah ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. Kebalikan dari epistemologi
bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang ada
dibalik teks. Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang
diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan
secara logis
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan.
a) kelompok yang
menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti
yang disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi
di Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak
tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Di samping itu, sebagian pendiri
aliran-aliran sufi berasal dari keturunan orang Majusi, seperti Ma`ruf
al-Kharki dan Bayazid Busthami.
b) kelompok yang
beranggapan bahwa irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan
Von Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O'lery. Alasannya,
(1) adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa
jahiliyah maupun zaman Islam; (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan
para Sufi, dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan
mengasingkan diri (khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan
para rahib dalam soal pakaian dan cara bersembahyang.
c) kelompok yang
beranggapan bahwa irfan ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan
Hartman. Alasannya, kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali
adalah di Khurasan, kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari
kalangan Arab, seperti Ibrahim ibn Adham , Syaqiq al-Balkh dan Yahya ibn Muadz.
Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah pusat agama dan kebudayaan Timur
serta Barat.Mereka memberi warna mistisisme lama ketika memeluk Islam.Konsep
dan metode tasauf seperti keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah
praktek-praktek dari India.
d) kelompok yang
menganggap irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya Neo-Platonisme
dan Hermes, seperti disampaikan O'leary dan Nicholson.Alasannya, ‘Theologi
Aristoteles' yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus telah
dikenal baik dalam filsafat Islam.Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-861
M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains
Hellenistik.Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi
dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih
dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafzi
dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS.Al-Fusilat 164), identik dengan konsep
Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga
untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an
tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan dengan
segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau tahapan
seperti dalam istilah al-Hujwiri.
Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga
didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, yakni
tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. pengetahuan irfani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan.
a. Persiapan
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh
jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus
dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari
segala sesuatu yang subhat),Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan
dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali
Tuhan SWT), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati
sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).
b. Penerimaan
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan
limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada
tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Pengetahuan semacam ini di
dunia islam sering disebut dengan ilham, disebut ilham.
c. Pengungkapan
Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena
pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait
dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam
Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini
bisa diungkapkan.
Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat Islam yang kemudian
membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa
yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf:
ma'rifat. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan;
Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang
dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan
di luar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman
intuitif yang sangat mendalam yang disebut gnosis, sehingga sering tidak sesuai
dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu
cenderung pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang. Pendekatan
irfani secara epistemologis, menjadikan pengalaman ruhani bisa dijelaskan
secara rasional dan masuk akal.
Tiga epistemologi Islam
ini mempunyai ‘basis’ dan karakter yang berbeda.Pengetahuan bayani didasarkan
atas teks suci, irfani pada intuisi sedang burhani pada rasio.Masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan
Perbandingan
Epistemologi Bayani. Irfani. dan Burhani
|
|||
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
|
Sumber
|
Teks Keagamaan/ Nash
|
Ilham/ Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/ Istidlal
|
Kasyf
|
Talilili (analitik).
Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
Loaika
■i-
|
Tema Sentral
|
Ashl-Furu* Kata –
Makna
|
Zahir - Batin Wilayah
– Nubuwah
|
Essensi - Aksistensi
Bahasa – Loaika
|
Validitas
Kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum Teolos.
ahli Fiqli.
ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
Daftar pustaka
M. Amin
Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), 243[1]
Ahmad Tafsir,
Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.
Muhammad Abid
al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso, (Yogyakarta: LKiS,
2000),
hlm. 60
Noorsyam, filsafat Pendidikan
dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional, Surabaya :
1984), hal 34
[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama
Normativitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 243
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), 4-6.
[3] Muhammad Abid al-Jabiri, Post Tradisionalism Islam, Terj. Ahmad Baso,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), hlm. 60
[4] Noorsyam, filsafat
Pendidikan dasar dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional,
Surabaya : 1984), hal 34